Qadarullah saya diberikan amanah memegang TPQ di salah satu kecamatan di Sidoarjo. Berawal dari dua murid sekarang sudah hampir 35 murid, dulunya hanya sendirian mengajar sekarang sudah bersama 2 ustadzah lainnya.
Tapi kali ini aku tidak akan bercerita awal mula kenapa bisa nyemplung di dunia TPQ anak-anak, karena postingan sebelumnya sudah kujelaskan.
Kali ini aku ingin sharing cerita sederhana saat hujan tiba sore hari.
Belajar mengaji sama halnya seperti anak belajar sepeda, butuh proses lumayan. Tidak cukup 1 minggu atau hanya 1 bulan, bahkan bisa jadi tidak terhitung berapa lamanya proses itu dijalani hingga ia tidak terasa bahwa sudah melampaui batasan itu.
Hal itu itu yang dirasakan anak-anak TPQ, ketika mood bagus, semangat ngajinya tidak bolong sama sekali. Pas udah malas-malasnya ya sudah ngajinya bolong bahkan bisa seminggu bolos ngajinya. Alhasil ketika masuk, kebingungan lagi baca jilidnya.
Aku mengajar 9 anak dalam satu sesi. 4 anak jilid 3 dan 5 anak jilid 4. Dari semua anak terjaring dua anak yang rajin masuk mengaji. Bahkan ketika gerimis, sampai hujan deras mereka semangat datang.
Namanya Lala dan Thalita. Dua anak ini memiliki background keluarga yang berbeda. Kenapa bicara background? Jelas menarik, anak adalah cerminan keluarga dan lingkungan sekitar saat mereka menuju tempat baru. Faktor itulah kita bisa menilai, menghubungkan bahkan membantu mereka jika terjadi sesuatu.
Lala. Tahun ini dia baru masuk Sekolah Dasar kelas 2, ia terpaksa mundur satu tahun karena Ibunya telat mendaftarkan dirinya masuk sekolah. Ekonomi adalah faktor utamanya. Lala anak pertama dari 2 bersaudara, Ibunya bekerja asisten rumah tangga dan Ayahnya bekerja ojek online.
Dan yang bikin terkejut Lala ini bukan anak kandung ayah yang sekarang, melainkan buah pernikahan sebelumnya dengan orang non muslim. Sebelumnya Ibunya bercerai dia tinggal di Jakarta dengan segala keperluan yang terpenuhi, entah datang masalah seperti apa Ibunya memboyog pindah di sebuah desa di salah satu kecataman di Sidoarjo.
Sekarang Lala dan keluarganya tinggal dalam kamar sepetak alias kos-kosan. Dengan segala kekurangannya Lala tidak pernah menunjukkan wajah sedih dihadapan temannya. Entah apakah dia sudah lihai menyembunyikan perihal nasib yang dideritanya.
Sampai-sampai Ibunya sering memohon untuk keringanan bayar SPP agar bisa dibayar dobel bulan depan, pengurus TPQ pun memahami kondisi keluarganya. Mau bagaimana lagi, lebih berdosa lagi kita jika ada orang ingin sekali mengaji harus terkendala karena biaya.
Pertama kali datang ke TPQ, dia tidak tahu apa itu bedanya ا ب ت
Sekarang dia sudah belajar di jilid 4. Akumengamati betul proses Lala terheran-heran, dulu dia tidak mampu membedakan huruf hijaiyah sekarang perlahan ia bisa membaca penggalan ayat alquran masyallah.
Diam-diam aku selalu mengamati dia saat di kelas. Meski teman-temannya kadang memperlakukan diirinya tidak seperti teman-teman lainnya, dia tetap memiliki cara tersendiri untuk mengambil hati teman lainnya.
Di sela-sela mengaji, jika yang datang hanya 2 orang kerap ia menceritakan kebiasaan wajib yang harus ia jalani. Dari mulai uang jajan hanya seribu rupiah dalam sehari, di umur masih belia ia sudah diberi tanggungjawab beres-beres perabotan di kos-kosan, dan mengurangi jatah main dengan temannya karena harus menjaga adiknya berumur 4 tahun. ia harus berbagi tugas ibunya, agar perekonomian dalam keluarganya tetap berjalan.
Sempat terpikir seperti ini, Lala adalah ciri anak yang dipaksa dewasa sebelum umurnya. Dengan keterbatasan ekonomi ia harus bisa membagi waktu antara membantu pekerjaan Ibunya dan keinginannya bermain bersama teman-teman.
itulah Lala dengan segala keterbatasannya, tidak menyurutkan niat baiknya mempelajari Al Quran. Semoga kelak ia menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang-orang disekitarnya untuk kembali mengajarkan alQuran pada orang lain.
Murid kedua adalah Thalita kelas 1 SD, kehidupannya berbanding terbalik dengan Lala. Dia berasal dari background keluarga mampu. Dia adalah murid terkecil dalam kelas ku, pasalnya badannya kecil tapi sudah jilid 4, jilid yang dimiliki anak-anak jika kelas 3 keatas.
Kecil-kecil cabe rawit itulah julukan yang pas untuk Thalita. Dia masuk TPQ baru akhir tahun 2020 kemarin, saat masa pandemi karena materi mengaji di sekolah diajarkan secara daring. Ibunya memutuskan untuk mengantakan mengaji ke TPQ, karena dirasa mengaji secara daring yang dilakukan pihak terkesan lambat.
Bisa dibilang kehidupan Thalita 100% berbeda dengan Lala. Dari sisi semangatnya hampir lebih sama dengan Lala. Mungkin jika dia tidak masuk mengaji Ibunya Thalita meninggalkan pesan via whatsapp, kalau tidak bepergian luar kota ya sakit.
Berhubung sekarang masih musim hujan, tidak lain hujan kerap datang sore hari. Suasana anak-anak akan malas datang ke TPQ jika hujan sudah datang. Justru Thalita adalah anak paling bersemangat datang jika pas berangkat itu hujan.
Meski berangkat mengenakan jas hujan diantar ibunya mengendarai sepeda motor, dengan intensitas hujan tidak ringan ia semangat datang ke TPQ. Ibunya sendiri yang mengatakan.
Melihat semangatnya datang ke TPQ untuk mengaji, membuat diriku ini malu. Kadang hujan tidak deras saja sudah muncul benih-benih untuk tidak datang ke TPQ. Ya kali kalah ciut sama anak-anak malu dong sama umur.
Saya banyak belajar kehidupan dari mereka berdua sebagai anak-anak. Pelajaran tidak selalu diambil dari sebuah perkuliahan atau seminar berbayar, dari kisah anak-anak pun terselip pesan kehidupan yang tidak tertulis dalam pesan berantai.
Tidak ada salahnya kita meniru semangat mereka untuk haus akan ilmu-ilmu yang belum kita pelajari. Anak-anak adalah dunianya bermain, setelah hari itu anak-anak adalah dunia melebih fantasi yang harus kita pelajari.
Subanalllah, benar-benar menginspirasi adik2 ini. Jadi malu sendiri nih. Terima kasih sudah berbagi inspirasi ini Mbak.
BalasHapusTerharu terus saya mba baca tulisannya, tulisan yang minggu lalu juga begitu.
BalasHapusntar kita japrian ya mba...
Saya mau dunk bantuin Lala....
Sungguh menginspirasi sekali jadi terharu baca tulisan ini. Banyak hal yang tidak kita ketahui disekitar kita
BalasHapusTeringat Lala, aku teringat pada sulung ku. Ia kelas 4 SD. Tapi di rumah sudah punya kewajiban beberes rumah dan jaga adik yang nomer 4 dan 5.
BalasHapusNamun saya melihatnya sebagai kakak yang lihai dan pandai mengambil hati adiknya.
Sama dengan kedua anak tersebut, anak saya pun selalu berangkat mengaji meski hujan. Saya selalu membawakan payung agar ia berangkat bersama adiknya.
Masya Allah. Semoga segala kebaikan mengalir kepada Lala dan Thalita. Belajar mengaji itu bukan sekadar belajar, ada ikhtiar yang mereka lakukan dengan kecintaan dan keikhlasan. Saya salut. 👍🤗
BalasHapusSesungguhnya hidup mengajarkan banyak hal, bahkan dari anak-anak. Karena mereka sangat berharga.
Semangat ya belajar mengajinya untuk Lala dan Thalita
BalasHapusMasyaAllah semangat bangett yak. Iri sama mereka yang semangat banget buat belajar, apalagi belajar Quran. Banyak yg ngga memprioritaskan kek gini
BalasHapussepakat banget kak, kadang anak-anak rasa semangat untuk belajar lebih tinggi daripada kita yang dewasa, suka banget dengan kalimat penutupnya "Tidak ada salahnya kita meniru semangat mereka untuk haus akan ilmu-ilmu yang belum kita pelajari" sehat selalu ya kak, terus menginspirasi
BalasHapusKelak anak-anak yang diajarin Alquran ini mengenang masa kecilnya saat belajar bersama di TPQ ini ya Mbak... saya sampe sekarang masih inget diajarin ngaji sama paman yg seorang qori'. Alhamdulillah ilmunya hingga kini terus diamalkan. Salam sayang buat Lala yaa
BalasHapusIya eh. Kadang ngiri memang sama anak-anak yang semangat belajarnya tinggi. Lah kita masalah dikit aja udah males.
BalasHapusDua kondisi yang semuanya berbeda tetapi sama sama memberikan kita pelajaran hidup. Salam ya untuk Lala dan Talitha. Kami di sini juga ada sekitar dua puluh anak santri mengaji yang insyaallah kami ajarkan mengaji, fikih, dll.
BalasHapusAnak² dgn kepolosannya memang tulus ya. Semangatnya kadang ngalahin orang dewasa yg banyak "ngeles"nya. Cemunguut jg yaa bu guru
BalasHapusSemoga menjadi generasi qurrata ayun ya nak. Senang banget lihat anak-anak rajin baca Alquran.
BalasHapusterharu bacanya saya kak, semoga mereka sehat selalu dan selalu dilancarkan dalam mencari ilmunya ya, semoga tumbuh jadi anak-anak yang cerdas
BalasHapusAku jadi malum kak, ingat awal pandemi sampai sekarang masih stop taklim dan tahsin hiks. Kalah nih sama lala
BalasHapusSenang sekali melihat anak anak yang suka membaca AlQuran, anak anak memang masih polos dan murni, apa adanya.. belajar di masa kanak kanak memang jauh lebih mudah karena mereka masih belum berdosa..
BalasHapusMelihat perkembangan anak-anak mengaji membuat hati tersentuh ya. Biasanya yang belum bisa baca huruf hijaiyah pasti malu-malu begitu karena malu dengan teman sekitarnya. Syukurnya ada niat belajar ya meskipun dengan berbagai background keluarga.
BalasHapusmasyaAllah baca artikel gini kadang merasa minder, pas kecil menuntut ilmu itu seperti mudah, rajin terus, udah tua kok malah makin ngrasa gak punya waktu huhu
BalasHapusThalita dan Lala adalah cerminan anak-anak yang punya semangat dan kesungguhan. Apresiasi lebih pada sang guru yang mampu melihat mereka dari sisi yang lebih dalam dan lalu menuangkannya dalam rangkaian kata yang menyentuh. Semangat selalu membimbing mereka, Kak Alfima.
BalasHapusSemangat Belajar lah yang dibutuhkan anak. dan sebagai orang tua atau anak muda. kita memberikan inspirasi dan memberikan wawasan lebih.
BalasHapusMasya Allah, semangatnya belajar mereka itu, kadang bikin iri yaaa :)
BalasHapus