“Kasih Ibu sepanjang masa” pepatah itu rasanya benar sekali
tidak bisa dibantah. Seorang Ibu adalah sosok perempuan tangguh bertulang baja
dan hatinya sebagus emas. Dengan senang, susah merawat anaknya agar bisa
bertahan hidup, tidak rela jika anaknya sakit atau tergores sedikit pun. Lebih
dari itu tugas ibu termasuk dalam mendidik buah hatinya, membentuk karakter
kepribadian baik agar bisa diterima dalam masyarakat kelak nantinya bisa
memberi manfaat bagi agama dan bangsanya. Tiap keluarga tentu memiliki didikan
yang beraneka ragam tergantung dari siapa yang mendidik, bagaimana mendidik?,
sampai bagaimana lingkungan ikut mempengaruhi didikan Ibu?. Nah kali ini ku
akan sharing ke kalian beberapa kebiasaan yang diterapkan dalam lingkungan
keluargaku sedari aku masih kecil.
No tisu. Menggunakan kain serbet (pakaian yang sudah tidak layak dipakai) untuk
me-lap tangan, kaki bahkan ingus pun juga. Selain itu dirumah pun tidak
disediakan tisu. Masih ingat betul saat masih Sekolah Dasar kondisi badan
sedang flu berat, Ibu tidak lupa menyiapkan sapu tangan sebagai senjata jika
ingus tidak bisa dikondisikan disaat yang tepat.
Tisu kita gunakan jika bepergian saja, karena dianggap
praktis. Dan ketika dirumah, kembali menggunakan serbet sebagai pembersih
kotoran serba guna. Satu keluarga kami ada 4 member, dan semuanya tidak
menggunakan tisu saat dirumah. Aneh? Iya menurut saya, sepengelamanku saat
bertamu ke rumah seseorang. Benda yang tersaji diatas meja ruang tamu yang
namanya TISU tidak pernah absen hadir diantara kumpulan makanan yang disajikan.
Misalkan kita disajikan gorengan bakwan, pisang goreng dan teman-temannya
sebagai pembersihnya adalah tisu lagi dan lagi. Nah di keluarga kami baik untuk
kepentingan sendiri atau kepentingan banyak orang kain serbet is always. Kain serbet
yang digunakan saat dirumah kain bekas pakaian yang sudah tidak terpakai lagi. Misalnya
waktu itu dirumah sedang diadakan khotmil quran otomatis banyak suguhan jajan,
baik jajan kering maupun yang berminyak. Jika ada acara dirumah seperti diatas
khotmil quran yang digunakan serbet kain yang memiliki corak kotak-kotak garis
hitam, sebagai bentuk menghargai tamu tapi tetap tidak menggunakan tisu.
Di keluarga tisu bukan hal yang harus ada disudut ruang tamu,
karena lebih senang menggunakan kain serbet, walaupun harus ribet selesai digunakan
jelas kotor . Waktu itu masih belum paham kenapa ibu selalu memakai kain serbet
untuk membersihkan tangan sehabis makan, atau saat membersihkan benda-benda. Dulu
juga belum terlau menggema anjuran sayangi lingkungan hidup dengan kurangi
penggunaan platik dan tisu. Eh sekarang ku mulai mengerti apa manfaatnya jika
kita memilih menggunakan kain serbet daripada tisu, 1) hemat uang bisa dihitung
jika dalam 2 minggu menghabiskan tisu 1 pak seharga 9000/rupiah dikalikan dalam
sebulan Rp. 18.000 dikalikan satu tahun total Rp. 216.000 lumayan juga waktu
yang dikelurkan untuk penggunaan tisu saja, 2) kain serbet berasal dari pakaian
yang sudah tidak layak pakai tetap bisa dimanfaatkan kembali kegunaannya
kecuali untuk kalangan banyak tetap menggunakan serbet yang sepantasnya bukan
kain serbet bekas pakai yang sudah tidak terpakai lagi, sebagai cara
menghormati orang lain, 3) untuk khalayak banyak bisa menggunakan serbet yang
bercorak, ada yang masih ingat pembungkus berkat jaman dulu setelah genduren[1].
Walaupun menggunakan kain serbet sebagai lap member keluarga tidak ada yang
keberatan, harus mencuci kain serbetnya.
Suka makanan rumah. Makanan semahal apapun tetap kalah lezatnya jika
dibandingkan dengan masakan ibu dirumah. Yang setuju angkat tangan dikomentar.
Walaupun lauknya tahu tempe dan sambel ikan asin plus kemangi ditemani nasi
hangat hadehh endes polll. Menyukai makanan rumah, entah kenapa saat makan
bareng teman diluar selalu keinget dirumah ibu masak apa ya? ibu sudah makan
apa belum?. Sering itu ada kegiatan dari pagi sampai sore, nah kan dikasih nasi
kotak harusnya dimakan disana. Tak bawa pulang biar dimakan orang rumah, nah
saya nya makan masakan rumah.
Inget banget pas bulan Romadhon Ayah kerjanya sip sore, pas
buka nggak dirumah jelasnya. Eh pas maghrib pulang kerumah sebentar dengan
alasan tip-x nya ketinggalan, kata Ibu “itu
alasan saja, aslinya ingin makan dirumah” saat ayah udah balik ke pabrik.
Contoh lain Ibu kami secara tidak langsung mengajari kami untuk menyukai
masakan rumah dengan tidak memberikan makanan instan seperti KC, MCD, Hisana,
Pizza dll makanan instan lainnya. Sekalipun tidak ada lauk tersaji Ibu tidak
akan membelikan kami makanan instan yang ku contohkan diatas. Ibu bakal meracik
bahan-bahan seadanya yang ada dalam kulkas untuk disulap jadi makanan hangat.
Mau pas kondisi laper belum makan karena ibu belum masak,
dengan terpaksa dan capek ibu mau masak buka. Makanan udah siap santap bisa
dipastikan lauk dipiring yang full tadi bisa ludes dalam sekejap kadang hanya
tertinggal 1-2 lauk saja hehe.
Berusaha menepati janji dan tidak berhutang. Berusaha menepati janji salah
satunya dengan cara mengembalikan benda milik orang lain misalnya saya diberi
makanan tetanggga yang dibungkus dengan rantang tanpa diingatkan orang yang
diberi. Ibu selalu mengajari kami jika diberi makanan diwadah segera dipindah,
dan wadahnya segera dicuci bersih langsung dikembalikan tanpa ditunda-tunda “inget
itu barang milik orang lain, secepatnya dikembalikan jangan menunggu ditagih
baru barang dikembalikan ke pemiliknya, jangan sampai orang tersebut mencabut
keikhlasan memberi karena kita lalai dalam menjamin kewajiban kita sebagai
orang yang diberi”.
Tidak berhutang, menggunakan uang seadanya tidak ada uang
yang tidak boleh berkeinginan harus ditunda dulu. Contoh setiap hari minggu Ibu
pergi ke pasar untuk membeli barang dagangan sekaligus belanja keperluan rumah
jika uangnya tidak cukup ibu lebih baik tidak jadi membeli daripada berhutang
karena uangnya tidak cukup padahal orang yang jualan tersebut sudah membolehkan
ibu membayarnya jika membeli di lain hari. Bagi Ibu saya lebih baik makan dengan uang seadanya, jika
sewaktu-waktu nanti ibu meninggal dan masih memiliki hutang yang tidak diketahui oleh ahli waris
sekalipun itu anaknya tetap saja yang menanggung dosa Ibu sendiri. Belajar
memegang perkataannya sendiri, jika dalam kondisi terdesak misalnya beli sayur
lodeh dan pepes tongkol total nya Rp. 8000 uang yang disodorkan 10.000 tapi
pembeli tidak ada kembalian.
“Nggak ada uang pas nak?”.
“Ndak ada Bu, adanya cuma Rp. 7000 saja”.
“Yawes itu saja nggak apa, berarti sampean kurang 1000 ya”.
Jelas jika kalian ada di posisi itu kalian pasti akan bilang
“Iya bu, habis ini saya langsung kembali”. Ku jamin kalian pasti mengucap
kalimat itu.
Untuk menjaga kepercayaan orang lain, meskpin kekurangan kita
hanya bernominal 1000 ditambah sudah bilang “sebentar” jelas itu namanya
janji. Harusnya segera dikembalikan setelah sampai rumah. Jangan sampai pas
sudah sampai rumah “ah besok-besok aja deh pas beli lagi” ku jamin 1001 orang
yang inget dengan hutangnya sendiri.
kata Ibu “Jangan sampai meminjam uang di rentenir keliling
itu, ibu paling tidak suka lebih baih hidup dengan seadanya, kurangi jajan yang
tidak penting harus gemi dalam memiliki uang agar hidupnya tidak
terlunta-terlunta esok nanti, karena untuk masalah uang sulit sekali minta
bantuan pada orang lain sekalipun itu
saudara sedarah sendiri”.
Hindari meminjam atau meminta barang orang lain. cukupilan kebutuhanmu dengan
kemampuan uangmu sendiri, jika memang masih bisa diusahakan sendiri maka
berusahalah dengan benda yang masih kalian miliki. Walau hukum meminjami barang
adalah mendapat pahala karena sama dengan menolong orang lain. Memberikan
bantuan orang lain memang tidaklah salah bagus sekali tapi fenomena saat ini
yang sering saya hadapi adalah ketika orang kita tolong dengan meminjami barang
kita, dikemudian hari mereka akan mengulangi lagi padahal kita sendiri tahu
mereka sebenarnya sudah mampu tapi dengan alasan malas atau eman mereka lebih
memilih meminjam.
Menghindari meminta barang kepada tetangga. Misalnya di depan
rumah saya ada daun padan buat kolak, sudah tumbuh besar bahkan melebihi tinggi
tubuh saya, letaknya didekat jalan raya yang otomatis sangat terlihat sekali
oleh lalu lalang orang. namanya manusia suka khilaf kalau melihat barang yang
tidak dimilikinya,
“Mbak minta daun pandan sedikit saja, buat bikin kolak”.
“Enggeh Mbak, sampean ambil sendiri”.
“Suwon mbak nggh”.
Selesai ambil ku lirik daun pandan yang dibawanya lebih dari
10 lembar daun. Dalam batin yawes tidak apa apa. Eh seminggu kemudian datang
lagi orang tersebut, minta lagi padahal sudah dari pasar belanja”. Kok tahu? Di
sepedanya banyak belanjaan kresek.
“Mba minta daun pandan lagi, di pasar tak cari kok gak ada
yang jual”.
“Hemm” dengan agak males jawabnya. Batinku berkata “ya kali
satu pasar nggak ada yang jual daun pandan bilang aja eman buat beli pandan,
kalau minta kan gratis banyak pula”. Ya seperti itulah pengen punya tanaman
buah atau sayur , menanam sendiri, dirawat sendiri, eh pas sudah berbuah orang
lain ramai-ramai memetiknya. Kecuali kalau tanamannya itu bunga, mau berbunga
berapapun orang lain juga gak akan meliriknya, karena fungsinya keindahan bukan
untuk makanan hehe.
Itulah beberapa hal yang masih kuingat, selebihnya ada yang
lupa. Saya bersyukur di didik degan cara-cara diatas, menjadikan saya manusia
berani, peduli, dan kadang lupa lautan.
[1] Kegiatan
mengaji bersama-sama yang dilakukan di salah satu rumah warga dan pulangnya
membawa berkat masing-masing yang berisi makanan.
Posting Komentar
Posting Komentar