Entah tangan ini gatel pengen
nulis tentang “telat” tentu tidak asing jika menempatkannya pada negara
tercinta Indonesia. Kebiasaan suka ngaret alias nunggu-nunggu. Teringat percakapan
singkat saat menaiki tangga menuju lantai tiga
“Eh gak telat kah aku?”
“Aku saja telat biasa saja” jawab
teman disamping.
“Aku gak biasa telat dadakan ,
soale kalo telat wes direncanakan dari awal”
Benar apa adanya telat itu ada
dua kondisi antara telat disengaja dan telat direncanakan. Kedengarannya
mainstream ya.
Telat disengaja ada pada kondisi
diantaranya kamu memang udah tahu janjian jam segitu sengaja telat dengan
alasan macet, ban bocor, kehabisan bensin lah padahal dibalik itu ada kerjaan
nggak penting yang sedang kamu kerjakan contoh: main gadget, nonton tv, sengaja
gak masuk kelas mampir ke kantin dulu, atau pas ngobrol ketemu temen sengaja
dilama-lamaian.
Ya bukan rahasia umum lagi kalau
manusia itu tidak akan mau melihat proses orang lain. Jadi yang harus ia tahu adalah
hasilnya. Mengena bukan. Wajar lah maka dari itu membangun citra yang baik itu penting asal
jangan cari kepeNtingan demi untuk citra yang baik.
Sengaja membuat orang lain
menunggu itu bikin geregetan kan ya. Apalagi bagi yang pernah ngalami. “kalau tahu
gini mending berangkat sendiri aja”. Kata manusia yang sudah jamuran nungguin.
Kesengajaan itu tak sedikit
menimbulkan kerugian banyak pihak salah satunya waktu teman kamu yang sudah
nungguin jadi berkurang gara-gara hal gak berfaedah. Yaitu nunggu. Hmm iya
kalau orangnya sabar pasti ditunggu, nah kalau tidak ditinggal pergi aja. Beda
cerita kalau yang nungguin itu orang punya kepentingan pasti selama apapun
orang itu pasti bakal ditunggu. Betul tidak? Ya iyalah dia akan butuh.
Beda lagi kalau yang merasa
ditunggu itu berasa dirinya penting, kadang dengan seenaknya datang semaunya.
Kadang juga melebihi jam target yang sudah disepakati dan ditentukan. Misalnya
janjian jam 8 pagi, tiba-tiba mendadak acara penting “Nanti ya jam 4 sore”.
Dengan gampangnya merubah jadwal yang sudah disepakati. Ya mau gimana lagi
namanya punya kepentingan itu apapun akan dijalani.
Telat karena disengaja oleh
berbagai hal yang sebenarnya tidak penting jika alasan itu disampaikan. Karena
sebenarnya dia telat karena salah dirinya sendiri. Makhluk seperti ini bisa
dibilang cenderung senang “meremehkan” merasa dirinya sudah mengetahui
segalanya. Bisa dibilang sedikit congkak ataua menunjukkan ini loh aku tahu
segalanya.
“Ah ntar aja paling isinya gitu
doang”
Kata “Ah” seakan dirinya paling
benar didunia. Salah satu indikasi besar kepala.
Sengaja menelatkan dirinya bisa
menjadi kebanggaan tersendiri misal saat menghadiri seminar jadwalnya dimulai
jam 8, karena merasa pasti molor acaranya datanglah dia jam set 10. Karena
stigma Indonesia itu kalau membuat event jadwal yang tertera diundangan pasti
tidak sesuai alias melampaui ekspektasi. Alhasil masyarakat terutama gen
millenial ikut ikutan menggunakan kebiasaan tersebut. yang meskipun tidak
semuanya. Adalah beberapa yang masih menghormati aturan dan tidak egois
memetingkan diri sendiri.
“Eh bener kamu ya acaranya
barusan mulai”. Hmm benar aku kan pasti molor, mending berangkat kaya aku aja
lumayan bisa nonton tv sebelum berangkat.
Secara tidak sadar kebiasaan
telat disengaja menjadi contoh dan akhirnya mendarah daging pada setiap lapisan
masyarakat dimanapun berada. Akhirnya kebisaaan menunggu lama menjadi
pemandangan ruwet dan rumit. Kebanyakan dari mereka ketika sudah memutuskan
membuat janji bertemu ditempat dan jam yang sudah disepakati. Masih saja bertanya
esoknya sejam sebelum berangkat. Padahal sudah jelas dibicarakan sebelumnya.
Hmmmm
Padahal jika mereka sadar sudah
membuat janji ya langsung dieksekusi tak perlu nunggu mengirim pesan “Eh kamu wes berangkat a? Lek
otw WA aku ya”. Aduhh pemandangan ruwet itu. Dampak kecilnya ketika nunggu
ditepi jalan raya bikin macet karena sepeda motor yang berjejer pada nungguin
makhluk yang belum datang. Selain itu tidak sesuai dengan waktu yang sudah
disepakati. Awalnya janjian jam 8 pagi yang seharusnya jam 8 sudah berkumpul
semua dan siap berangkat. Justru jam 8 baru datang satu makhluk dan masih
menunggu yang laen. Bisa berangkatnya jam 10 siang itu. Pemandangan sering
seperti itu.
Kedua telat direncanakan. Telat
macam ini telat yang sudah memiliki prosedur dan SOP yang jelas. Meskipun
namanya telat tetap memiliki konotasi jelek dimata masyarakat dunia. Mereka
telat bukan untuk kesengajaan hal berfoya-foya tapi memang ada kepentingan yang
belum bisa dilepas sehingga meminta kelonggaran atau tambahan waktu dan meminta
maaf datang terlambat. Orang seperti ini akan mengabari sebelumnya jika dirinya
akan datang terlambat sehingga orang-orang yang sudah menunggunya tidak akan
merasa kecewa.
Mereka-mereka yang sering
melalukan rencana telat tidak semuanya juga memiliki alasan baik juga. Kurang lebihnya
telat mereka dengan konsep persiapan lebih matang.
Kemudian telat direncanakan mereka
adalah orang-orang yang sangat menghargai waktunya. Misal ketika menghadiri
event dan diwaktu yang bersamaan ada pekerjaan yang wajib ia selesaikan
terlebih dahulu. Tentu ia akan membuat planning. Jam berapa akan
siap-siap? Estimasi perjalanan berapa jam? Beri pesan pada teman kalau datang
telat?. Hal semacam itu terlihat sepele tapi jika dilupakan bisa jadi kebiasaan
buruk.
Orang-orang yang berdedikasi
tinggi baik itu untuk dirinya atau untuk orang lain ia pasti memilih tidak
untuk terlambat dengan alasan apapun. Kembali lagi ya pada alamiahnya manusia
memandang orang lain hasil bukan proses. Telat bukan dijadikan alasan menunda atau
menununggu pekerjaaan. Berusaha mem-planning lebih indah kejadian sedari
awal.
Baik itu telat disengaja atau
telat direncanakan bukanlah kebiasaan yang harus rutin dilakukan. Telat atau
terlambat itu dimulai dari pembiasaan yang sering tak terhindarkan.
Sidoarjo, 27 November 2018
Posting Komentar
Posting Komentar